Ron Sulut

Bahayanya Belajar Agama Dari Internet Tanpa Guru, Ingat Belajar Agama Itu Perlu Bertahap


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Di era digitalisasi semacam ini, sudah banyak ajaran ajaran agama mulai di publikasi satu persatu dalam sebuah website, blog, Facebook atau group seperti ada yang mengutip hadiths atau beberapa ayat Dengan jelas dan tegas, mereka menuliskan “Ada hadisthnya!” lalu dikutip hadithsnya untuk mendukung argumentasi mereka. Atau “Ada ayatnya” lalu dikutip ayatnya.

Biasanya, apa yang disampaikan memang sangat benar sekali, dan penjelasan juga bagus dan benar. Ayat itu benar ada, dan memang bisa digunakan untuk memperkuat suatu pendapat atau argumentasi karena memang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh ulama dan ahli tafsir. Begitu juga hadithsnya karena hadiths itu memang ada, sahih dan sangat bisa digunakan dengan cara tersebut. Ini merupakan ilmu Islam yang benar, yang kalau ditanyakan kepada para ustadz dan kyai akan dibenarkan juga karena sesuai dengan apa yang mereka ajarkan.

Tetapi kadang juga, ada orang yang menyampaikan pendapat yang belum tentu disetujui semua orang, atau pendapat yang tidak diyakini secara umum oleh ummat Islam. Orang itu mengatakan kita semua harus meyakini bahwa X itu wajib, atau X itu haram atau makna dari suatu keadaan adalah X. Lalu dikutip ayat atau hadiths. Setelah dibaca, kalau dari isi teksnya, sepertinya memang betul. Ayat dan hadiths tersebut tidak diragukan kebenarannya, dan teks sudah jelas di depan mata dengan pernyataan yang sepertinya sederhana.

Masalahnya cuma satu. Ayat atau hadiths tersebut punya makna yang lain, yang tidak bisa dipahami dari sekedar membaca teksnya saja. Kalau sebatas baca terjemahan dalam bahasa Indonesia, “sepertinya” jelas dan mudah dipahami. Tetapi kalau bertanya kepada seorang ustadz yang punya ilmu yang baik, maka dia mungkin akan senyum dan mengatakan, “Mohon maaf, tetapi anda salah paham.”

Yang telah terjadi adalah suatu teks (ayat atau hadiths) yang mengandung kalimat yang jelas dan sederhana dipahami secara TEKSTUAL saja, tetapi belum tentu punya makna yang juga jelas dan sederhana. Bisa juga teks itu punya makna lebih dari satu, dan bisa juga punya makna yang hanya bisa dipahami setelah diteliti KONTEKS-nya dan dibandingkan lagi dengan ayat dan hadiths yang juga membahas topik yang sama.

Dulu, saat saya mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren dapat suatu rahmat yang besar dari Allah dalam bentuk guru saya KH Masyhuri Syahid dari MUI. Setelah mulai membahas agama dengan Pak Kyai, dan saya menunjukan sikap tertarik pada bidang fiqih, Pak Kyai mulai mengajar saya secara rutin. Saya ingat sekali salah satu pelajaran pertama dari Pak Kyai berupa sebuah peringatan. Dia menegaskan bahwa orang awam seperti saya sama sekali tidak boleh membaca terjemahan Al Qur'an, atau hadiths, lalu mengatakan pada diri sendiri, “Saya sudah baca, saya sudah paham!” Sikap itu bisa menjadi hal yang berbahaya dalam proses belajar agama.

Pak Kyai Masyhuri menegaskan lagi, bahwa Al Qur'an dan hadiths HANYA bisa dipahami lewat bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab. Dan lebih dari itu, sangat penting untuk memeriksa KONTEKS dari sebuah ayat atau hadiths. Kalau sebatas membaca teks terjemahan, dan merasa paham, maka itu membuka suatu pintu yang sangat berbahaya bagi semua orang Muslim yang masih awam. Kadang, sebuah kalimat bisa berubah sekali di dalam konteks yang berbeda. Jadi, kalau kita baca terjemahan, di mana sangat mungkin maknanya sudah berubah sedikit sekali dari bahasa aslinya, dan setelah itu, kita juga tidak peduli pada konteksnya, maka harus siap-siap menjadi keliru dan salah paham.

Jadi saya diajarkan seperti itu. Kalau mau paham dengan benar, maka harus ada proses yang benar.

Pertama, kita harus bertanya, “Kata-kata apa yang digunakan di dalam bahasa Arab?” dan bukan semata-mata melihat terjemahan saja. Dan kalau belum bisa berbahasa Arab, maka harus bertanya kepada seorang ustadz yang mengerti.

Kedua, KONTEKS-nya apa pada saat ayat ini turun, atau apa yang sedang terjadi pada saat Nabi mengucapkan kalimat yang menjadi hadiths ini? Kalau bahasa Arab tidak dipahami, dan konteks tidak dipedulikan, maka dengan sangat mudah bisa terjadi PERUBAHAN MAKNA.

Dan ini yang sudah saya saksikan beberapa kali di dalam group Facebook atau beberapa artikel milik netizen. Bahkan ada Orang datang dan menyampaikan pendapat. Lalu setelah ada yang berprotes sedikit (“Masa seperti itu Pak?”), orang itu berusaha untuk membuktikan kebenaran dari pendapatnya. Ayat ada. Hadiths ada. Lalu disampaikan teks ayat dan hadiths dalam bahasa Indonesia. Kalau penjelasan yang disampaikan sesuai dengan ajaran para ustadz dan kyai, biasanya tidak menjadi masalah. Dan orang yang belum tahu menjadi tahu. Orang yang belum belajar mendapat pelajaran.

Tetapi kadang yang terjadi adalah yang sebaliknya. Orang yang berpendapat itu mengikuti pikiran dan keinginan sendiri, lalu pikiran itulah yang diperkuat dengan ayat dan hadiths. Ini bukan hasil dari pengajian yang dia ikuti. Ini bukan hasil dari binaan seorang ahli agama. Ini adalah seorang Muslim, yang dengan ilmu terbatas, berusaha belajar sendiri dengan baca-baca di internet, lalu melihat sebuah ayat atau hadiths, memikirkan maknanya, dan kemudian dia mengucapkan di dalam hatinya:  “SAYA SUDAH BACA, SAYA SUDAH PAHAM!”

Lalu karena dia merasa “sudah paham” maka dengan semangat yang besar, dia mulai menyebarkan pendapatnya kepada semua orang, untuk meyakinkan mereka juga. Dia tidak berhenti sejenak dan bertanya kepada yang lebih ahli, karena dia merasa sudah baca dan paham sendiri, jadi buat apa harus tanya pada ustadz?

Hasilnya adalah pendapat dia yang keliru, yang merupakan hasil dari kesalahpahaman terhadap maknanya di dalam sebuah ayat atau hadiths, disebarkan ke mana-mana di dalam beberapa group dan komunitas.

Lalu pada saat orang lain mengatakan tidak setuju atau tidak yakin pendapat itu benar, dia merasa harus menegor mereka dan suruh mereka setuju. Dia sudah baca, dan sudah paham, jadi orang lain harus mengikuti dia dan dan ikut paham seperti dia juga. Dan hasilnya setelah itu adalah dia mengganggu orang yang sedang belajar, karena dia menyampaikan pendapat yang keliru dan kemudian mulai ribut dengan orang yang tidak setuju. Perbuatan seperti ini sudah saya saksikan di beberapa tempat, berkali-kali dalam sekian tahun terakhir ini.

Kesimpulan saya dari semua ini hanya satu. Kita semua sebagai orang Muslim yang mau belajar lebih banyak dan ingin menjadi Muslim yang baik, WAJIB punya guru agama masing-masing. Dan ini juga merupakan salah satu ajaran dari Kyai Masyhuri kepada saya dulu. Dia mengatakan orang yang bukan ustadz atau kyai, yang tidak bisa bahasa Arab, dan belum diajarkan ilmu tafsir, sama sekali tidak sanggup memahami Al Qur'an dan hadiths secara benar. Pasti akan keliru dalam banyak perkara, karena yang bisa mengerti hanyalah ahli agama yang sudah diajarkan “cara yang benar untuk mengerti” secara turun-menurun dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai dengan sekarang.

Tidak cukup kita baca sendiri terjemahan ayat dan hadiths dari internet, KECUALI kita sudah mengikuti pelajaran agama dan pengajian secara rutin dari dulu, dan sudah punya dasar ilmu agama yang kuat. Untuk orang2 seperti itu, walaupun belum menjadi ustadz, pada saat mendapatkan ayat atau hadiths yang membuat mereka berfikir-fikir (karena sepertinya ada makna yang lain) makamereka sudah mengerti sendiri ada kewajiban untuk cek langsung kepada guru agamanya yang bisa bahasa Arab dan juga ahli tafsir, untuk mendapatkan pengertian yang lebih dalam.

Jadi orang seperti itu sudah bisa menambahkan ilmu agama secara “independen” (di luar waktu pengajian) karena bisa membedakan antara apa yang sesuai dengan ajaran ustadz dan sudah dipahami, dan hal baru yang belum tentu dipahami secara benar dan perlu dicek lagi.

Saya sering ketemu ibu-ibu pengajian dan bapak-bapak yang ikut pengajian setelah jam kantor yang seperti ini. Mereka belum menjadi “ahli agama”, tapi dasarnya sudah cukup kuat untuk tahu kapan mereka sudah paham, dan kapan mereka perlu bertanya lagi. Jadi insya Allah mereka masih cukup terjaga oleh ilmu yang sudah dikaji selama bertahun-tahun.

Tetapi bagi orang awam atau muallaf yang belum kuat ilmu agamanya, hal seperti itu tidak bisa dilakukan karena bagi mereka, semua ayat dan hadiths hanya bisa dipahami secara tekstual saja. Itu yang dikatakan “bahaya” oleh guru saya dulu dan sekarang saya sudah melihat buktinya secara langsung.

Ternyata, pelajaran dari Pak Kyai Masyhuri itu sangat betul dan sangat bermanfaat kalau mau diterima. Jangan sampai ummat Islam, terutama orang awam dan muallaf, merasa tidak begitu membutuhkan guru agama yang ahli bahasa Arab dan ahli tafsir, karena cukup kita semua “baca-baca” dari internet. Sikap seperti itu membuka pintu untuk menjadi keliru dan salah memahami ajaran agama Islam.

Berikut beberapa refrensi dari sejumlah ayat al-quran dan hadist tentang bahayanya belajar dari internet / Tanpa Guru Agama

ﻭَﻻَ ﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﻪِ ﻋِﻠْﻢٌ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊَ
ﻭَﺍﻟْﺒَﺼَﺮَ ﻭَﺍﻟْﻔُﺆَﺍﺩَ ﻛُﻞُّ ﺃُﻭﻟـﺌِﻚَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻨْﻪُ
ﻣَﺴْﺆُﻭﻻً )ﺍﻹﺳﺮﺍﺀ : 36 )

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (QS. Al-Israa’:36)

Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib berkata, “Tidak akan didapat ilmu (yang bermanfa’at) kecuali dengan enam perkara……yaitu harus CERDAS, SEMANGAT, BERSABAR, MEMILIKI BIAYA, MEMILIKI GURU PEMBIMBING DAN WAKTU YANG LAMA.”

Berkata Al-Kholil bin Ahmad,

ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺭﺟﻞ ﻳﺪﺭﻱ ﻭﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﺃﻧﻪ
ﻳﺪﺭﻱ ﻓﺬﺍﻙ ﻏﺎﻓﻞ ﻓﻨﺒﻬﻮﻩ ﻭﺭﺟﻞ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ
ﻭﻳﺪﺭﻱ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﻓﺬﺍﻙ ﺟﺎﻫﻞ ﻓﻌﻠﻤﻮﻩ
ﻭﺭﺟﻞ ﻳﺪﺭﻱ ﻭﻳﺪﺭﻱ ﺃﻧﻪ ﻳﺪﺭﻱ ﻓﺬﺍﻙ ﻋﺎﻗﻞ
ﻓﺎﺗﺒﻌﻮﻩ ﻭﺭﺟﻞ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﻭﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﺃﻧﻪ ﻻ
ﻳﺪﺭﻱ ﻓﺬﺍﻙ ﻣﺎﺋﻖ ﻓﺎﺣﺬﺭﻭﻩ

“Orang-orang itu ada empat macam:

1. Seorang yang mengetahui dan tidak mengetahui bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang lalai maka ingatkalah ia

2. Dan seorang yang tidak tahu dan ia mengetahui bahwasanya ia tidak tahu, itulah orang yang jahil (bodoh) maka ajarilah ia.

3. Dan seorang yang mengetahui dan ia tahu bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang pandai maka ikutilah.

4. Dan seorang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwsanya ia tidak tahu, dan dia mengajarkan orang, itulah orang tolol maka jauhilah dia”          (Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 828)

Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam belajar agama di internet ini,

1. Bahaya Dengan adanya sumber yang berlimpah, maka orang merasa sudah tahu, dan merasa tidak perlu lagi bertanya-tanya kepada orang yang lebih tahu. Padahal seringkali apa yang kita baca di internet tidak sepenuhnya kita pahami sebagaimana yang diinginkan oleh penulisnya (blogger, netizen dll). Dan Pembaca juga gak tau SIAPA SI PENULIS.  Terutama jika situasi dan kondisi penulis tidak sama dengan situasi dan kondisi pembaca. Seperti Qur’an yang terkadang hanya bisa dipahami dari asbabun nuzulnya, bukan hanya dari apa yang tertulis saja…

2. Merasa tidak perlu menuntut Ilmu kepada Ulama. Ini juga menjadi penyakit yang sangat parah. Bersilaturrahiim kepada ulama tidak bisa digantikan dengan baca-baca buku dan browsing internet. Pahala duduk dalam majelis ilmu, fadhilah memandang wajah ulama, keutamaan duduk dalam majelis-majelis dzikir, manfaat mendengar bayan dan penjelasan ulama, jelas tidak bisa didapat dengan duduk berlama-lama memencet tuts keyboard dan meng-klik mouse. Dan, menghadiri majlis Ilmu ini bukan hanya sekedar saat kita ingin bertanya tentang masalah hukum agama saja. Silaturrahiim kepada ulama ini memang banyak fadhilahnya. Dan untuk menanyakan persoalanpun, sebenarnya tidak sopan kalau cuma sms-an, tapi akan lebih ber-adab jika berkunjung dan meminta nasehat langsung. Tentu saja, untuk saat-saat darurat, tidak
mengapa jika terpaksa menelepon atau kirim sms…

3. Internet tidak pandai memilah-milah karena Internet juga gak ada gurunya, makanya yang belajar via Internet atau buku itu sesat menyesatkan) mana yang penting dan mana yang tidak. Karena internet tidak pandai/tidak ada gurunya, lalu kemudian kita sendiri yang memilah-milah, bahan dan apa yang akan kita baca. Dan kemudian kita memilah-milah berdasarkan apa yang terjadi dan kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Masalahnya adalah, terkadang, perkara yang amat penting itu tidak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, padahal itu ada. Akhirnya terkadang kita jadi sibuk dengan membahas perkara2 yang sebenarnya biasa-biasa saja dan melupakan perkara-perkara lain yang lebih penting, karena hasil googling “I’m Feeling LuckyTM” membawa kita kesana.

4. Internet itu rimba belantara. Tidak ada sesiapapun yang mengontrol benar dan salah di internet. Sebagaimana di hutan dimana yang menjadi raja adalah yang paling kuat, di belantara internet, yang menjadi raja adalah yang paling tinggi rangking google rank-nya. Kalau dalam dunia bisnis dan dunia ekonomi yang memang sehari-hari berkutat dengan internet sih tidak masalah. Karena pada saat itu, benar dan salah jadi tidak ada, yang ada hanya request and demand.

Tapi dalam hal agama, dimana ulama-ulama hakiki (ulama yang sesungguhnya) sedang sibuk dengan dzikir, muroqobah, dan murajaah, maka orang-orang yang merasa tahu menuliskan apa yang mereka rasa tahu dan dibaca oleh orang yang sama-sama tidak tahu, dan… begitulah. Mudahnya fasilitas forward dan copy paste juga membuat sebuah pendapat yang sebenarnya belum tentu benar, jadi terlihat benar karena ada dimana-mana. Duh..ba…ha…ya….

MENGAPA BELAJAR PERLU GURU ?

MANFAAT BERGURU adalah agar terhindar dari perkara-perkara yang SESAT & untuk mnghindari FITNAH.

Adapun fungsi GURU atau SANAD (sandaran) adalah mencegah manusia untuk berbicara semaunya /seenak Gue, atau bicara hanya berdasarkan dari kerangka otaknya doang.

DENGAN SANAD, maka Hal-hal yang diajarkan Rosululloh, terjaga keaslian isi ilmunya, tanpa ada yang dikurangi atau di tambah-tambah (DI MODIFIKASI MANUSIA).

( Kata Al-Imam Ali Zainal Abidin
“laula isnada ma qola sa’a ma sa’a”= jika tanpa isnad memang orang bisa berkata apa saja yang dikehendakinya. )

Belum ada dalam sejarah seorang ulama besar lahir dari belajar kepada buku atau dari internet. Yang Ada Qulama (Sesat jadi ulama)
Ilmu adalah keahlian dan setiap keahlian membutuhkan ahlinya, maka untuk mempelajarinya membutuhkan muallimnya yang ahli (guru pembimbing).

Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid berkata, “Ini hampir menjadi titik kesepakatan di antara para ulama kecuali yang menyimpang.” Ada ungkapan, “Barangsiapa masuk ke dalam ilmu sendirian maka dia keluar sendirian.”

Syaikh Bakr berkata, “Maksudnya barangsiapa masuk ke dalam ilmu tanpa syaikh maka dia keluar darinya tanpa ilmu, hanya mendapatkan kesesatan.”

Syaikh Bakr menukil ucapan ash-
Shafadi, “Jangan mengambil ilmu dari shahafi (ahli tajwid) dan jangan pula dari mushafi (org yg berpendat menurut dirinya sendiri), lalu Syaikh Bakr berkata, “Yakni jangan pelajari al-Qur`an kepada orang yang ahli membaca tapi pelajari dari Ahli ilmu (Ulama) dan jangan membaca hadits dan lainnya dari orang yang mengambilnya dari buku.”

Sebagian ulama berkata,

ﻓَﻴَﻘِﻴْﻨُﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻤُﺸْﻜِﻼَﺕِ ﻇُﻨُﻮْﻥُ ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ
ﻳُﺸَﺎﻓِﻪْ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ﺑِﺄُﺻُﻮْﻟِﻪِ

Barangsiapa tidak mengambil dasar ilmu dari ulama, maka keyakinannya dalam perkara adalah TERTOLAK

Abu Hayyan berkata,

ﻳَﻈُﻦَّ ﺍﻟﻐَﻤْﺮُ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻜُﺘُﺐَ ﺗَﻬْﺪِﻱ ﺃَﺧَﺎ ﻓَﻬْﻢٍ
ﻹِﺩْﺭَﺍﻙِ ﺍﻟﻌُﻠُﻮْﻡِ

Anak muda mengira bahwa buku membimbing orang yang mau memahami untuk mendapatkan ilmu

ﻭَﻣَﺎ ﻳَﺪْﺭِﻱ ﺍﻟﺠَﻬُﻮْﻝُ ﺑِﺄَﻥَّ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻏَﻮَﺍﻣِﺾَ
ﺣَﻴَّﺮَﺕْ ﻋَﻘْﻞَ ﺍﻟﻔَﻬِﻴْﻢِ

Orang bodoh tidak mengetahui bahwa di dalamnya terdapat kesulitan yang membingungkan akal orang

ﺇِﺫَﺍ ﺭُﻣْﺖَ ﺍﻟﻌُﻠُﻮْﻡَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺷَﻴْﺦٍ ﺿَﻠَﻠْﺖَ ﻋَﻦِ
ﺍﻟﺼِّﺮَﺍﻁِ ﺍﻟﻤُﺴْﺘَﻘِﻴﻢْ

Jika kamu menginginkan ilmu tanpa syaikh, niscaya kamu tersesat dari jalan yang lurus

ﻭَﺗَﻠْﺘَﺒِﺲُ ﺍﻷُﻣُﻮْﺭُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺼِﻴْﺮَ ﺃَﺿَﻞَّ ﻣِﻦْ
ﺗُﻮْﻣَﺎ ﺍﻟﺤَﻜِﻴْﻢِ

Perkara-perkara menjadi rancu atasmu sehingga kamu kebih tersesat daripada Tuma al-Hakim Alfaqier yakin masih banyak nomor alasan lain akan bahaya ilmu tanpa guru.

Alfaqier hanya ingin sekedar mengingatkan diri Alfaqier sendiri dan semoga bermanfa’at untuk yang lain, agar kita sering-sering berkunjung kepada ulama, giat mengikuti Majelis-majelis Ilmu, belajar agama di the real world. “Cut your wire sometime” Wallohu ‘Alam.


Semoga bermanfaat.

Wabillahi taufik walhidayah,

Wassalamu’alaikum wr.wb

1 Response to "Bahayanya Belajar Agama Dari Internet Tanpa Guru, Ingat Belajar Agama Itu Perlu Bertahap"

  1. Ya betul itu sangat berbahaya, karna kita tidak nampak org nya, disamping itu wara apa tidak pun juga kita ga tahu, saya sangat setuju yang anda katakan mendatangi para ulama, yang kalibernya telah diakui.
    Sedangkan mencari makan saja kita disuruh untuk yang halal. Apalah lagi yang berbau agama, petunjuk menuju jalan kepada Allah dan Rasul nya. Maka kalaulah banyak belajar dari internet maka yang terjadi adalah banyak pemuda kita yang nanti bodoh tapi tidak sadar.

    ReplyDelete

Berkomentarlah yang Bijak